Manajemen Perkotaan : Pencegahan Dan Mitigasi Sebagai Bentuk Tanggap Bencana

on Senin, 09 Januari 2012
Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia dan lempeng Dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahan-patahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor.
Wilayah kota sebagai daerah hunian merupakan kawasan yang sangat rawan bencana, oleh karena itu perlu diupayakan langkah-langkah strategis untuk melindungi setiap warga negara dengan langkah-langkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi.
Salah satu upaya yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana adalah pencegahan dan mitigasi, yang merupakan upaya untuk mengurangi atau memperkecil dampak kerugian atau kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana. Salah satu upaya pencegahan dan mitigasi ini adalah melalui penetapan kebijakan penanggulangan bencana.

Indonesia merupakan Negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Umumnya bencana yang terjadi tersebut mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Bencana banjir Jakarta di awal tahun 2002 menunjukkan betapa besarnya kerugaian yang ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setelah kejadian banjir di Jakarta, diperkirakan akan menghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Kerugian ini belum termasuk kerugian yang diderita oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi percepatan program pembangunan kota serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Khusus dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi, misalnya, sebagai gambaran hasil penelitian dan kajian beberapa pakar, menunjukkan bahwa selama 25 tahun kejadian gampa di Indonesia, korban bencana lebih diakibatkan oleh kerusakan bangunan rumah sederhana seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding, dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa bumi melalui pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil.
Selain gempa bumi, sejak tahun 1987 sampai sekarang telah terjadi lebih dari 800 kejadian bencana tanah longsor yang menimbulkan korban lebih dari 700 jiwa, dimana setengah dari kejadian tanah longsor tersebut terjadi di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi daerah Jawa Barat dan Banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan memiliki curah hujan yang tinggi.
Disamping bencana gempa bumi dan tanah longsor, gejala anomali iklim global El Nino telah menyebabkan terjadinya bencana kekeringan yang menyebabkan menurunnya hasil produksi pertanian secara signifikan dan kebakaran yang menyebabkan kerugian lebih dari US$ 0,88 Juta dan kerugian negara-negara ASEAN sedikitnya US$ 9 Milyar. Sementara itu gejala La Nina, yang memperbanyak curah hujan, telah banyak menimbulkan bencana banjir dan beberapa diantaranya diikuti dengan tanah longsor. Kerugian dari gejala anomali iklim tersebut meliputi bidang pertanian, transportasi, pariwisata, dan beberapa aktivitas ekonomi, dan belum termasuk biaya kesehatan, kehilangan keanekaragaman hayati, kerusakan akibat kebakaran, dan degradasi lingkungan yang tidak terukur. Kerugian-kerugian baik jiwa maupun materi yang timbul akibat berbagai bencana bukanlah suatu jumlah yang kecil. Hal ini harus mulai menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah Indonesia.

1.1 POTENSI BENCANA
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi negara Indonesia.
Disamping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator diatas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi.

1.2 TINGKAT KERENTANAN
Tingkat kerentanan (vulnerability) perkotaan di Indonesia adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ‘bencana alami’, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya alam’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2): “....... Natural disasters are the interaction berween natural hazards and vulnerable condition”.
Tingkat kerentanan kota-kota di Indonesia dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Melihat darib erbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka perkotaan Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan tinggi sementara di lain pihak persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA rendah.
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (manmade disaster), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi.
Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya resiko terjadinya bencana di wilayah perkotaan Indonesia.

1.3 RESIKO BENCANA
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan resiko ‘bencana’ yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Resiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula Sementara faktor lain yang mendorong semakin
tingginya resiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.

1.4 MITIGASI BENCANA PERKOTAAN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DI ERA DESENTRALISASI
Dari latar belakang tentang bencana alam di perkotaan Indonesia, mitigasi bencana perkotaan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster). UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, serta PP No. 25 tahun 2000 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Pemerintah Kota (dan Kabupaten) untuk mengelola pembangunan kotanya, khususnya dalam administrasi pemerintahan dan keuangan. Oleh karena itu sekarang ini pemerintah kota mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang tertujuan meningkatkan peran kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah, penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat informasi dan inovasi – termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan tetapi, konsentrasi peran yang besar di kota-kota tersebut, tidak lepas dari kenyataan bahwa kota-kota di Indonesia terletak pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap bencana alam, dan karena sangat heterogen dan pluralnya sistem sosial dan perekonomian yang terjadi juga sekaligus rawan terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya.
Dalam konteks Indonesia, perbedaan antara bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia cenderung tidak jelas. Banyak kejadian alam dan bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam penggunaan sumber daya dan tindakan yang tidak memadai serta kurangnya pandangan jauh ke depan. Oleh karena itu sudah saatnya para pemerintah kota, yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), maupun pemerintah kabupaten (yang juga mempunyai kawasan perkotaan), yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), berinisiatif dan secara lebih proaktif mengembangkan sistem perencanaan pembangunan kota yang berkelanjutan dan berwawasan mitigasi bencana.

1.5 PENTINGNYA KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA PERKOTAAN
Selama ini, di dalam praktek, penanggulangan bencana masih ditekankan pada ‘saat’ serta ‘setelah (pasca)’ terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap ‘sebelum (pra)’ bencana yang telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan (prevention), yaitu dengan menghindari pemanfaatan kawasan yang ‘rawan bencana’ untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya. Kebiijaksanaan yang ada juga belum memadukan berbagai program pembangunan perkotaan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga kota dari bencana yang mungkin terjadi. Selain itu juga disadari bahwa kebijakan nasional penanggulangan bencana yang ada masih mengandung beberapa kelemahan yang cukup esensial, selain dalam hal substansinya (yang masih sangat umum, tidak khusus untuk perkotaan yang jauh lebih rentan), juga pada tingkat kemungkinan ‘applicability’ dari kebijaksanaan tersebut di dalam tataranpraktik sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Oleh karenanya, sejak diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 peran pemerintah pusat di era desentralisasi baru yang lebih terbatas pada penyusunan pedoman, standard, atau aturan kebijakan pokok. Hal tersebut berimplikasi pada tuntutan penyusunan kebijakan nasional mitigasi bencana yang lebih baik, dalam artian kebijakan nasional yang lebih layak secara teknik (efektif dan cukup), ekonomi dan finansial (efisien, keefektifan biaya), politis (diterima masyarakat, responsif, legal), dan secara administratif dapat dilaksanakan (otoritas, komitmen, kapasitas, dan prasarana & sarana pendukung).
Khusus dalam kebijakan penanggulangan bencana alam, kebijakan yang telah ada saat ini umumnya juga lebih menekankan pada pencegahan/penghindaran dalam menyikapi kawasan yang rentan terhadap bencana. Hal ini khususnya berlaku untuk kawasan yang belum terbangun, yaitu dengan menjadikannya sebagai kawasan lindung/preservasi, yang tidak boleh sama sekali dibangun. Dalam hal tertentu, kebijaksanaan tersebut kadang-kadang dapat menimbulkan persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya kesempatan sosial ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis di perkotaan.
Kepadatan penduduk yang terpusat di perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi (proses itensifikasi), menyebabkan daerah perkotaan tersebut menjadi rawan/rentan terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Permintaan lahan untuk perumahan dan industri (proses ekstensifikasi) juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan perkotaan yang secara inherent mengandung potensi resiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan (vulnerability level), yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya (hazard potency) yang dimilikinya.
Setiap pemerintah kabupaten/kota perlu mempunyai suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengikuti pedoman atau Arahan Kebijaksanaan Mitigasi Bencana Perkotaan yang diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program pembangunan perkotaan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga kota dari bencana yang mungkin terjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Salah satu sebab pentingnya penyusunan kebijaksanaan mitigasi perkotaan ini, disamping mengurangi dampak dari bencana itu sendiri adalah juga untuk menyiapkan masyarakat ‘membiasakan diri’ hidup bersama dengan bencana, khususnya untuk lingkungan yang sudah (terlanjur) terbangun, yaitu dengan mengembangkan sistem peringatan dini dan memberikan pedoman bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yang biasa terjadi, sehingga masyarakat dapat merasakan keamanan serta kenyamanan dalam kehidupannya.
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.

5 komentar:

rendy.ndutz mengatakan...

tepat sasaran...materi menarik...perlu adanya study kasus agar materi yang sodara sajikan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia...semangan gan...

ArfindaCandra mengatakan...

terima kasih sodara Rendy atas masukannya, disini saya hanya mengulas tentang bagaimanakah mitigasi bencana itu, mungkin tulisam selanjutnya akan saya kasih contoh studi kasusnya. :)

Anonim mengatakan...

memang Indonesia selalu jd sasaran berbagai macam bencana

Anonim mengatakan...

Ayo lindungi Indonesia tercinta !!! Maju INDONESIAKU !!1

nophee fenova mengatakan...

menarik dan cukup complicated...hehe
mitigasi bencana sangat bagus, tinggal bagaimana di lapangan, semoga sesuai dengan perencanaan...
suggest: tolong dong buat konsep kota ramah lingkungan, dengan poin utama pembangunan secara vertikal bukan secara horizontal (misalnya saja dengan mengganti perumahan dengan rusun atau apartemen) kan banyak banget tu hemat lahan yang bisa dibuat konservasi ataupun lahan pertanian... paradigma penduduk qta saat ini kan masih minus terhadap rusun atau apartemen, shg prefer perumahan horizontal yg mengikis jumlah lahan pertanian...
tq... ^^

Posting Komentar

Mari budayakan memberi komentar dan masukan untuk kemajuan Indonesia

Welcome to WikiUrban - Selamat Datang di WikiUrban